Monday, August 1, 2011

Komunikasi dan Puasa



Manusia adalah makhluk sosial. Status ini menginsyaratkan bahwa manusia satu dengan yang lainnya butuh bersosialisasi. Manusia tidak dapat hidup tanpa kehadiran dan bantuan manusia lain. Cara paling sederhana yang dapat dilakukan manusia untuk bersosialisasi adalah dengan melakukan komunikasi.

Selain berkomunikasi dengan sesamanya, manusia juga diberikan kemampuan untuk dapat berkomunikasi dengan Penciptanya. Manusia diberikan akal budi dan hikmat sehingga ia mampu memikirkan cara berkomunikasi sekaligus menerjemahkan apa yang dikatakan Penciptanya saat berkomunikasi.

Metode komunikasi dengan Pencipta agak berbeda dengan metode komunikasi dengan sesama, walaupun secara prinsip kedua hal ini melakukan proses yang sama. Salah satu hal yang menyebabkan perbedaan metode tersebut adalah karena perbedaan pribadi komunikan. Komunikasi antar sesama manusia cenderung mudah metodenya karena kedua belah pihak nyata secara fisik (Konteks ‘mudah’ di sini sedang tidak menyentuh ranah hambatan komunikasi seperti perbedaan bahasa, adat kebiasaan, kelemahan fisik, dsb). Kondisi akan berbeda saat manusia itu berkomunikasi dengan Sang Pencipta yang ‘tidak kelihatan secara fisik’. Ketika berkomunikasi dengan Penciptanya, manusia akan seperti berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Proses ini membutuhkan konsentrasi yang luar biasa dan frekuensi yang tinggi untuk melatih kepekaan terhadap apa yang akan dikatakan Pencipta.

Lantas apa hubungannya dengan berpuasa? Nah ini yang menarik. Tapi sebelum menghubungkannya mari kita melihat arti puasa. Sejauh ini nampaknya orang-orang masih berpandangan sempit tentang puasa. Puasa sering diartikan hanya sebagai upaya untuk menahan nafsu makan. Bahkan dalam KBBI (Balai Pustaka 1976) mengartikan ‘puasa’ sebagai tindakan tidak makan dan minum dengan sengaja (terutama bertalian dengan kegiatan keagamaan). Kalau kita berpuasa hanya atas motivasi menahan nafsu makan, maka kita akan kehilangan esensi dari puasa itu sendiri. Saya tergelak ketika membaca kartun di harian terbesar berskala nasional yang dimuat pada hari Minggu (31 Juli 2011) lalu. Tokoh dalam kartun tersebut digambarkan sedang berbelanja di supermarket untuk menyambut datangnya bulan puasa.
“Sahur pertama harus mewah dikitlah.. hehe bikin beef triyaki boleh juga nih..”
“Habis sahur, harus ada asupan vitamin C biar tetep fit selama puasa...”
“Sluurrp..buka puasa harus makan enak, semur ayam dikombinasi sama udang goreng mayonaise...”
“Menu buka puasa harus dengan yang manis: es buah...”
“...dipadu dengan sirup cocopandan..hmm..glek glek..”
Setelah beberapa saat dia baru tersadar bahwa kereta belanjaannya sudah menggunung. Dia bergumam,
“Loh..belanjaan kok malah membludak gini ya? Padahal kan mau puasa?!”
Haha...agak satir memang, nafsu makan yang ditahan seharian akhirnya ‘dibalas’ secara luar biasa ketika berbuka.

Ada orang yang mengatakan bahwa media mempunyai efek imitation (efek yang membuat konsumen media mengikuti atau mengimitasi apa yang disajikan media), tapi ada pula yang mengatakan justru medialah yang merepresentasi kenyataan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Contoh yang paling gampang bisa kita lihat melalui kartun tadi. Sang kartunis (atau komikus) sedang menerjemahkan apa yang terjadi dalam masyarakat ke dalam sebuah karya komiknya.

Lalu kalau puasa ini dikaitkan dengan komunikasi, maka ke dua hal ini memiliki kaitan yang erat. Menurut saya, puasa adalah moment di mana kita bisa meningkatkan kedekatan kita kepada Sang Pencipta. Inilah esensinya. Waktu-waktu yang biasanya digunakan untuk makan, karena sedang berpuasa maka waktu untuk makan bisa diganti menjadi waktu untuk berdoa kepada Tuhan (doa = komunikasi dengan Tuhan). Suasana doa akan terbantu kekhusyukannya karena badan ini seperti sudah tidak punya tenaga lagi, sehingga yang ada hanyalah keheningan dan keminimalan gerak. Hal ini dapat membantu ketike berkonsentrasi. Bukan karena kita yang malas bergerak, tapi demi berstrategi menjaga supaya dapat mengefektifkan tenaga sampai tiba waktu berbuka puasa nanti. Kita akan berpikir dua kali untuk mengeluarkan suara lantang, bahkan tensi tinggi, ataupun aktifitas badaniah yang berlebihan. Ketika berpuasa kita menjadi “mendadak kalem”. Spirit seperti inilah yang akan dibawa ketika kita akan datang pada Sang Pencipta untuk berkomunikasi. Sehingga puasa bukan hanya menahan lapar dan haus, tapi sampai kepada meningkatkan komunikasi dengan Sang Pencipta. Setelah selesai berpuasa nanti diharapkan akan ada peningkatan relasi dengan Tuhan dan tentunya berdampak kepada perubahan hidup menuju arah yang lebih baik, karena sudah tentu ketika berkomunikasi dengan Sang Pencipta maka DIA hanya akan membagikan dan mengajar hal-hal baik kepada kita.

Demikian pedapat saya, semoga bermanfaat. Untuk saudara-saudaraku yang Muslim selamat menjalankan ibadah puasa. Semoga hubungan dengan Sang Pencipta dapat semakin erat sehingga hati ini bisa semakin diubah dan berdampak pada perubahan karakter dan tingkah laku sehingga buahnya dapat dirasakan oleh orang lain.

2 comments:

anggianingrum said...

waaa.... sodara2 yang berpuasa perlu baca nih....

membuka kesadaran agar ga terjebak pada ritual "balas dendam" nafsu makan.

membuka kesadaran tentang sikap hati yang benar untuk berkomunikasi kepada Sang Pencipta...

ivan okta said...

wehehe..uda aku sarankan ke beberapa teman kok...