Thursday, July 28, 2011

Setelah Dua Tahun Vakum


Huuhh...uda dua taun aku ga pernah sentuh ni rumah. Padahal rumah inilah yang sebenarnya menjadi kediaman favoritku. Memang ada rumah lain yang aku pinjam dari seseorang yang bernama Mark. Tadinya iseng aja biar rumah yang tidak seberapa besar itu bisa menampung kawan-kawan lama yang kali aja mampir dan tinggal untuk beberapa waktu dan ngobrol sejenak. Diluar dugaan, kawan yang datang bergantian jumlahnya sudah ribuan sehingga membuatku lupa tengokin kediaman favoritku. Aku sibuk melayani mereka sampai kadang berlaku gak jujur dengan hatiku demi menyambut dan menyenangkan mereka.
Selain rumah favorit, aku juga sudah melupakan rumah pinjamanku yang sebelumnya. Aku bahkan sudah lupa siapa pemilik rumah pinjaman tersebut sebelum akhirnya aku memutuskan pindah ke rumah pinjaman dari Mark. Kabar terakhir yang kudengar, rumah itu sudah ganti pemilik – kalau ga salah pemilik barunya orang Malaysia – dan diubah fungsinya menjadi wahana permainan. Sebenarnya aku masih dipinjami rumah di situ walo seluruh perabotan rumahku sudah dikosongkan, tapi aku tidak suka permainan makanya rumah itu aku tinggal begitu saja sampai sekarang. Lagian rumah yang sempet jadi basecamp pas reuni kelas SMAku itu sudah jarang dikunjungi kawan-kawan. Mereka berbondong-bondong pindah ke rumah baru milik Mark, sehingga akhirnya aku ga tahan juga dan ikut pindah (ke rumah milik Mark).
Beberapa waktu kemudian ada tren baru. Ada rumah sederhana berlogo burung yang siap dipinjamkan kepada siapa saja. Aku dengar kawan-kawanku sudah pada ikut meminjam rumah tersebut meski tetap mempertahankan rumah pinjaman dari Mark. Banyak artis manca maupun lokal, olahragawan maupun tokoh terkenal, kepincut rumah sederhana ini. Ini salah satu daya tariknya, kapan lagi kita bisa tetanggaan ma artis bahkan ngobrol dengan mereka? Walau demikian aku sudah berjanji ga akan pinjem rumah baru lagi. Rumah dari Mark ini adalah yang terakhir. Kalaupun akhirnya kompleks rumah dari Mark ini sudah pada ditinggalkan penghuninya – karena sudah terlanjur asik dengan rumah berlogo burung – dan aku tidak punya tetangga lagi, kawan-kawanku pun sudah jarang yang mampir; maka hal yang mungkin akan kulakukan adalah ikut meninggalkan rumah Mark dan tinggal di kediaman favoritku. Konsekuensinya adalah aku akan jarang berinteraksi dengan kawan-kawan. Tapi itu tidak mengapa, di kediaman favoritku ini aku bisa lebih jujur dengan hatiku. Aku bisa leluasa ungkapkan apapun dengan panjang dan lebar tanpa khawatir dibatasi oleh apapun. Coba bandingkan dengan kabar di kompleks rumah berlogo burung yang memberlakukan aturan pembatasan panjang kalimat ketika berinteraksi dengan tetangga, aduh menurutku itu menyiksa dan memicu stress karena harus senantiasa memikirkan kalimat yang pendek setiap kali berinteraksi. Tragisnya, kalimat yang keluar itu belum tentu ditanggapi oleh para tetangga, aduuhh...
Huuhh... home sweet home. Kediaman favoritku ini kayak villa di pegunungan. Aku ga perlu dirisaukan dengan jumlah kawan yang mampir karena letaknya memang jauh di pegunungan. Aku ga akan stress kalau ungkapan-ungkapanku tidak ditanggapi karena ungkapan yang keluar sebenarnya tidak butuh tanggapan. Ungkapan tersebut lebih kepada curahan hati hasil refleksi. Gimana ya, gunung itu bagi aku tempat yang inspirasioanal. Asal aku mengarahkan kepada pemandangan indah itu maka seketika itu juga otak ini dapat merefleksikan apa yang terjadi dan apa yang dilihat.
Hmm...cukup deh curahan hati kali ini. Dilanjut lagi di kesempatan berikutnya. Yang pasti, aku akan berusaha untuk sering tinggal bahkan menetap di rumah ini, rumah yang aku namakan Beautiful Redemption. God bless us.

4 comments:

Philip Ayus said...

back to blog, hahaha

ivan okta said...

dalam rangka latihan menulis Yus..

anggianingrum said...

asik paparannya Bro..! smp terbawa ke pegunungan.
sekalipun rumah dipegunungan nyaman... jangan lupa untuk turun gunung.
tak mengapa menambah properti perumahan.. bisa makin kaya dengan pertukaran pengetahuan.
tak dipungkiri bahwa perumahan2 itu menambahkan cerita baru dan warna baru. bahkan mungkin menambah bobot dan pengaruh rasa untuk dibawa ke rumah tercinta yang dipegunungan.
selamat berefleksi dan kontemplasi...! GBU!

ivan okta said...

woww..nice bangett anggi.
iya bener juga, aku juga ga mau jadi biarawan yang mngasingkan diri ke pelosok hutan sehingga gagap ketika harus keluar hutan. aku ke sana hanya untuk kedalaman meditasi dan kontemplasi.